Jumat, September 28, 2007

Internet versus Televisi


Kalangan usahawan lebih mempercayai informasi dari internet? “Iya!”, hasil penelitian Edelmen Asia Pasifik menyatakan usahawan di Asia Pasifik lebih mempercayai informasi dari Internet dibanding televisi. Padahal selama ini televisi dikenal sebagai sumber informasi bisnis utama karena berbagai informasi penting dari seluruh belahan dunia bisa tersaji dalam beberapa saat saja.

Bahkan menurut Presiden Edelman Alan Vander Molen, internet juga menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan bisnis. "Internet sudah menjadi media mainstream," kata Alan.

Penelitian tersebut merupakan kajian tahunan yang dilakukan Harris Interactive Inc. dengan sampel 1.050 pelaku usaha di Jepang, Korea Selatan, China, Hong Kong, Taiwan, India, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Australia.

“Televisi saja kalah, bagaimana dengan media cetak,” gumam saya. Pantas saja Direktur Utama News Corp Rupert Murdoch rela menggelontorkan dana sebesar US$ 100 juta untuk menggratiskan Wall Street Journal (WSJ) Online. Setelah sebelumnya mengeluarkan dana US$ 5,6 miliar untuk pembelian koran Wall Street Journal.

Murdoch berencana menggunakan WSJ untuk menarik penonton Fox Business Network.

TimeSelect, situs berita New York Times, juga menggratiskan layanan onlinenya. Sebelumnya, kita harus merogoh kocek US$ 7,85 atau Rp 74.730 per bulan untuk membaca artikel para kolumnis New York Times seperti Maureen Dowd dan Thomas Friedman.

TimeSelect menawarkan akses online dengan 23 berita dan opini kolumnis serta beberapa hal untuk menambah fitur di situsnya. Selain itu akses terbaru ini memungkinkan untuk mengunduh berita dari tahun 1851.

Saya sendiri tidak memungkiri kenyataan bahwa internet merupakan sumber inspirasi pebisnis mengambil keputusan merupakan suatu kewajaran. Itu semua merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi.

Berbekal komunikator seri 9500 pemberian kantor, kebiasaan menonton berita atau membaca koran seolah tergantikan dengan membaca berita via internet. Setiap saat saya bisa mengakses berbagai situs berita yang menyajikan informasi terkini dari mana saja.

Lagipula waktu saya untuk menonton televisi semakin berkurang seiring mobilitas yang bertambah. Haruskah saya selalu membawa televisi untuk update informasi? Aduh boo..cape deh!!

Selasa, September 25, 2007

Antisipasi


Bank Indonesia (BI) tampaknya harus bersiap guna mengantisipasi keinginan bank sentral Amerika Serikat (the Fed) kembali menurunkan suku bunga acuan menjelang akhir tahun nanti. The Fed merencanakan menurunkan suku bunga acuan dari 4,25 persen menjadi 3,5 persen.

Itulah yang dinyatakan seorang pengamat pasar keuangan Reza Wibawa saat bercakap-cakap melalui telepon seluler. "Maksudnya apa?," tanyaku agak keheranan. sejurus kemudian sang pengamat yang cukup ternama di pasar uang Indonesia itu menjelaskan, bahwa BI harus menurunkan suku bunga bila rencana tersebut direalisasikan. Tujuannya untuk menjaga perbandingan suku bunga acuan BI dengan suku bunga acuan the Fed agar tidak terlalu jauh berbeda. "kalau tidak menurunkan, gap-nya akan terlalu jauh, hal itu akan memberatkan APBN," ujarnya.

Reza kemudian mengemukakan bahwa penurunan suku bunga itu bisa tidak dilakukan jika harga minyak dunia mencapai US$ 85 per barel. Pasalnya, harga minyak setinggi itu bisa memancing inflasi yang tinggi. " kita (Indonesia) termasuk importir minyak murni, jadi kenaikan harga minyak bisa berpengaruh signifikan," kata dia.

Namun, kalau harga minyak sampai akhir tahun berada pada kisaran US$ 80-82 per barel maka BI bisa menurunkan suku bunganya.

Kebijakan BI yang bisa dilakukan untuk saat ini, kata dia, adalah menahan tingkat suku bunga acuan. Sebab dia memperkirakan laju inflasi hingga akhir tahun bisa mencapai tujuh persen pertahun. "BI memang harus sangat berhati-hti dalam mengambil kebijakan sekarang, mengingat faktor yang mempengaruhi kondisi makro ekonomi sangat komplek."